Selasa, 22 November 2011

Komunisme: K. Marx

Berdasarkan fakta yang ada, dewasa ini telah bangkit kembali gerakan Komunisme (Marxisme-Leninisme) di tanah air, semenjak 35 tahun yang lalu dinyatakan terlarang. Kader-kader muda revolusioner binaan sisa-sisa G30S/PKI dan kader-kader muda intelektual Katholik-Jesuit, yang tersebar di berbagai aparat sipil dan militer, ormas dan orpol, berbagai LSM, karena adanya persamaan ideologi yakni Marxis-Leninisme bekerja sama menyusun kekuatan untuk melahirkan "revolusi sosial" dalam mewujudkan negara Komunis.
Kaum intelektual muda Muslim dan ulama-ulama Islam dewasa ini, karena keterbatasan ilmunya tentang Marxisme-Leninisme/Komunsme, banyak yang tergelincir sehingga menjadi pejuang ajaran Marxisme-Leninisme/Komunisme tanpa sadar. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang demikian, maka kami sengaja menyusun tulisan ini secara ilmiah, filosofis, syar'i dan historis bahwa Komunisme (Marxisme-Leninisme) dalam segala dimensinya bertentangan dengan Islam dan senantiasa memusuhi umat Islam sepanjang sejarah.
Segala koreksi dan sanggahan terhadap tulisan ini senantiasa kami terima dengan tangan terbuka. Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi umat Islam, dan menjadi amal shaleh bagi kami sehingga ganjaran pahala senantiasa kami harapkan dari sisi Allah SWT.
Latar Belakang Sejarahnya
Berbicara tentang Komunisme tentunya kita akan membicarakan pencetus dan pendiri dari ideologi tersebut, menurut pandangan umum yang hidup di dunia sekarang ini, yaitu tidak lain adalah Karl Marx yang dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1818 di Trier Jerman dari keluarga Yahudi. Tetapi menurut Freemasonry, organisasi Yahudi di bawah tanah, pencetusnya tidak lain ialah sekelompok golongan cahaya (Freemasonry), yang telah diputuskan di dalam Kongres Internasionalnya di Amerika Serikat. Karl Marx, begitu kata Freemasonry, sebenarnya hanya orang bayaran dari Freemasonry, yang dimintakan untuk menyusun teori komunis dan atheisme; dengan imbalan semua biaya penghidupan Karl Marx dijamin sepenuhnya oleh Freemasonry.
Kebenaran pengakuan Freemasonry ini, akan terlihat dengan jelas nanti dalam kita membahas tentang teori-teori yang dikemukakan oleh Karl Marx, bahwa ternyata ia memang tidak menguasai sepenuhnya teori-teori yang ia ambil dari berbagai konsepsi-konsepsi filsafat yang berasal dari orang-orang non Marxis. Karl Marx hanya menyusun atau lebih tepatnya menyetel konsepsi-konsepsi filsafat yang dia pungut dari orang-orang non Marxis dalam suatu teori yang dia namakan "Komunisme".
Menurut beberapa penulis biografi menduga bahwa Karl Marx mengalami suatu krisis keagamaan ketika ia berusia l6 atau 17 tahun. Sebagai bukti, mereka menunjukkan sepucuk surat yang ditulis oleh ayah Marx; di dalam surat itu, dia memberi tahu Marx bahwa agama dapat dianggap sebagai dasar daripada kebaikan moral dan menyatakan bahwa tidak ada jeleknya untuk percaya kepada Tuhan, karena juga sangat banyak orang besar yang percaya kepada Tuhan.
Ayah Marx adalah seorang theis, seorang Yahudi yang liberal dan pengagum filsuf- filsuf "Pencerahan" dari Perancis, tetapi kemudian ia beralih agama menjadi seorang Kristen Protestan, pengikut Luther. Dia juga menyuruh isteri dan anak-anaknya dibaptis dalam cara Protestan. Di sini, masalahnya bukanlah apakah hal tersebut peralihan agama yang sesungguhnya atau bukan. Dalam kedudukan seperti ayah Marx adalah "tepat dan menguntungkan" untuk menjadi seorang anggota dari agama negara.
Setelah pembaptisan, kekristenan ayah Marx tidaklah lebih baik dari Keyahudiannya sebelumnya. Bagi anaknya Marx, yang patuh dan berbakti kepada ayahnya, jelaslah bahwa oportunisme orang tuanya tersebut tidak menimbulkan rasa hormat kepada agama Kristen. Tambahan pula, baik di dalam surat-suratnya yang banyak itu, maupun


di dalam buku-bukunya, Karl Marx tidak pernah menyinggung tentang krisis keagamaan tersebut dan juga tidak pernah menunjukkan rasa simpati kepada para pemeluk agama.
Para pencetus teori komunisme tentu saja menolak semua agama, karena agama-agama tersebut menurut keyakinannya semuanya mempunyai tanggung jawab yang sama atas pengasingan spiritual manusia. Tetapi Marx benar-benar membenci agama Kristen. Dia, seperti halnya banyak kaum atheis, sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk melihat agama Kristen merupakan perkembangan yang paling pesat dari kesadaran religius yang secara logis dapat diikuti hanya dengan penolakan terhadap semua agama.
Akhimya kita akan berkesimpulan bahwa pada diri Marx tertanam kebencian pribadi terhadap agama Kristen, yang hampir sama dengan yang terdapat pada diri Freud. Freud sendiri juga seorang Yahudi yang hidup di dalam suatu dunia yang seolah-oleh dunia Kristen dan di dalam dunia tersebut dia merasa terasing. Baik Marx maupun Freud menolak agama Kristen atas nama ilmu pengetahuan; tetapi di dalam penolakan tersebut jelas sekali terdapat unsur emosional.
Bila sosialisme Barat pada abad ke-XIX dari awal mulanya benar-benar atheis, sebagai tampaknya, karena adanya kenyataan bahwa diantara tokoh-tokoh utamanya tersebut banyak kaum intelektual Yahudi. Untuk memahami hal ini tidaklah perlu membayangkan adanya "semacam komplotan orang-orang Yahudi" yang sengaja dibentuk untuk menentang agama Kristen".1
Di sini kelihatan bahwa Ignace Lepp tidak ingin adanya satu "image" bahwa "atheisme" lahir, karena dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Tetapi satu fakta yang tak dapat diingkari ternyata gerakan Yahudi Zionisme dengan Freemasonry-nya --sebagaimana kita telah ungkapkan di muka-- menyatakan bahwa atheisme memang sengaja dilahirkan dan dibesarkan oleh gerakan mereka.
Salah satu bukti, dapat dikemukakan kembali surat yang ditulis oleh Pike, tokoh utama Freemasonry, tertanggal 10 Agustus 1871, yang antara lain menulis: "Kita akan memberikan kebebasan sebebas-bebasnya gerakan-gerakan atheisme dan gerakan-gerakan nihilis. Kita akan berusaha menciptakan suatu tragedi total untuk umat manusia, di mana akan ternyata dengan jelas kekejaman yang tidak putus-putusnya bagi setiap bangsa, sebagai hasil dari atheisme yang mutlak".
Selanjutnya Ignace menulis: "Dalam usaha mereka untuk mencari identitas sosial, kaum intelektual Yahudi tersebut secara sadar menentang 'pengasingan religius'. Dengan sengaja mereka menentang agama Kristen yang pemeluk-pemeluknya mengasingkan mereka serta memaksa mereka merasa seperti orang-orang asing di tanah air mereka sendiri. Rasa sakit hati memainkan peranan yang penting di dalam hampir semua atheisme orang-orang Yahudi yang saya ketahui, dan di dalam atheisme Karl Marx peranan rasa sakit tersebut mungkin benar-benar dominan."
Sebagai seorang keturunan Yahudi dan sebagai seorang yang merasa terhina oleh peralihan agama yang bersifat oportunistis yang dilakukan ayahnya, Karl Marx melalui suatu proses yang sangat dikenal di dalam psikologi dewasa ini, mengidentifikasikan dirinya dengan manusia pada umumnya. Marx melihat bahwa kemanusiaan juga diren-dahkan dan diasingkan dari identitasnya yang asli.
Di negara Prusia (Jerman) --yang pemah diagungkan Hegel-- yang disebut negara Kristen, pengasingan religius dengan sendirinya bagi Marx yang masih muda tampak sebagai sumber dari segala bentuk pengasingan lainnya. Pada masa selanjutnya, dia berusaha menggerakkan massa dalam suatu perjuangan yang tujuan utamanya adalah penghapusan ekonomi kapitalis. Tetapi dari surat-suratnya tampak dengan jelas bahwa Marx menekankan pada pengasingan ekonomi, karena pada waktu itu massa masih belum cukup sadar untuk dilibatkan dalam suatu perjuangan menentang pengasingan yang mendasar, yaitu pengasingan religius.
Sedikit demi sedikit, doktrin filosofis Marx mengenai materialisme historis mulai muncul. Dia melihat adanya super-struktur ideologis dari kondisi-kondisi ekonomi tertentu di dalam setiap agama. Oleh karena itu dia berharap bahwa di dalam penghapusan sistem ekonomi kapitalis, revolusi kaum proletar akan memberikan pukulan yang mematikan kepada agama Kristen. Karena rasa bencinya kepada agama, setiap kali terjadi pertentangan antara gerja dan negara, Marx selalu berpihak kepada negara, walaupun dia sangat merendahkan Negara Prusia.
Kita sama sekali tidak akan mampu memahami psikologi atheisme modern bila kita lupa bahwa --menurut mereka-- atheisme modern berasal dari keinginan manusia yang telah mencapai suatu tingkat kesadaran yang tinggi akan individualitasnya, untuk mematahkan rantai yang tampaknya membelenggu kemerdekaan dan kemuliaannya. Di dalam tulisan-tulisannya yang awal, dengan antusias dan kekaguman, Marx berbicara tentang Prometeus yang meskipun terantai pada batu karang tetap menghina dewa-dewa. Marx menganggap Prometeus sebagai lambang manusia yang penuh tanggung-jawab atas penciptaannya dan yang berani menentang dewa-dewa yang akan merampas tanggung jawab tersebut dari dirinya. Prometeus berseru: "Aku jauh lebih senang terikat pada batu karang ini daripada menjadi hamba yang patuh kepada Zeus sang Bapak"!
Lambat-laun atheisme Marxis secara eksplisit menjadi semakin bersifat politis dan mengaku bersifat ilmiah. Tetapi melalui penyelidikan yang teliti, tidaklah sulit untuk melihat bahwa atheisme modern merupakan suatu kelanjutan dari pemberontakan, seperti yang dilakukan Prometeus, oleh seorang pengikut Hegel yang masih muda. Hegel, Strauss, Bauer dan terutama Feuerbach, hanyalah membantu mendorong Marx dan secara rasional membantu merumuskan pemberontakannya terhadap Tuhan, terutama terhadap Tuhan orang-orang Kristen. Hal ini merupakan suatu pemberontakan yang akar-akarnya tersembunyi di dalam alam bawah sadar anak seorang Yahudi Jerman literal yang dalam usahanya yang keliru, untuk menutupi identitas Yahudinya, telah menjadi seorang Kristen.2
Siapa Prometeus? Dalam mitos Yunani ia adalah salah seorang dewa. Dengan maksud untuk memberikan jasa kepada manusia, ia mengkhianati dewa lain. Pada suatu malam selagi semua dewa tertidur; ia mencuri api ketuhanan dan menyerahkannya kepada manusia. Ketika dewa-dewa lain mengetahui hal ini mereka mengikatnya dengan rantai. Mereka gelisah karena manusia memiliki api syurgawi, sebab mereka ingin agar manusia selamanya tetap berada dalam kegelapan dan kelemahan yang hina, tidak boleh naik sampai kepada kedudukan yang dekat dengan para malaikat.
Marx yang menganut kepercayaan Prometeus dan idea masyarakat Prometeus dari sosiologi humanistik, dan dipengaruhi oleh Saint Simon, kemudian juga oleh Prodhon, dalam hal ini telah mewarisi pandangan religius dari mitos Yunani, persis seperti yang mereka lakukan. Iamenyamaratakan hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam agama Yunani dengan hubungan yang terdapat dalam agama lain; tidak menyadari


bahwa pandangan agama Timur sama sekali bertentangan dengan ini. Mereka memimpikan Tuhan yang bersimpati pada manusia. Tidak seperti Tuhan yang ada dalam agama Yunani, yang memandang manusia sebagai saingan dan menghadapinya dengan rasa iri dan dengki, yang harus dilayani dengan ketakutan. Risalah agama Timur berdasar pada kenaikan manusia dari bumi ke syurga; dari tingkat jasmani dan hewani ke arah sifat malaikat.3
Ketika Marx menyatakan: "Saya merasa jijik terhadap Tuhan," kita harus memikirkan pilihan susunan katanya. Dalam prakata untuk suatu risalah filosofis, suatu risalah yang membicarakan dewa-dewa, pemilihan kata "jijik" adalah sesuatu yang tidak wajar. Hal ini mengungkapkan emosi bukan suatu hal yang filosofis dan ilmiah. Seseorang harus menyelidiki akar dari reaksi semacam itu dalam kehidupan pribadi Marx. Dalam kekecewaan cinta yang disebabkan oleh pendeta-pendeta.
Mari kita perhatikan komentar selanjutnya: "Bukti yang sebenarnya harus mempunyai karakter yang berlawanan…,karena alam tidak mempunyai tatanan yang benar, maka Tuhan ada…, karena adanya dunia yang tidak dipahami…, maka Tuhan ada; dengan kata lain irrasionalitas adalah dasar bagi eksistensi Tuhan." Di dalam ungkapan ini tampak logika yang membingungkan yang menjadikan pandangan yang awam sebagai kriteria pemikiran keagamaan. Padahal pendekatan keagamaan awam selalu mencari Tuhan di luar hukum alam dan rasio dan dalam kejadian-kejadian yang tak terpahamkan; ia mencari bukti-bukti dalam jalannya peristiwa yang luar biasa, dan dalam sumber yang tidak ilmiah dan tidak alamiah.
Sebaliknya, kitab-kitab tua, khususnya Al-Qur'an, telah memberikan contoh rasional tentang tauhid atas dasar alam, kebiasaan, hukum kehidupan yang konstan dan sifat kehidupan dan peristiwa alam semesta yang teratur dan dapat dimengerti. Kitab-kitab suci ini menganggap hal-hal tersebut sebagai pengesahan obyektif terhadap eksistensi Tuhan yang memerintah atas alam.
Kitab suci Al-Qur'an mengecam keras kaum materialis, dengan pertanyaan: "Apakah kamu mengira tatanan dunia sia-sia?"
Al-Qur'an memberi jawaban: "Tidak Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antaranya dengan sia-sia" (28:27).
Lebih lanjut, Allah tidak menggerakkan peristiwa-peristiwa dunia tanpa sebab-sebab yang layak. Semuanya bersandar kokoh pada Sunnah Allah (hukum Allah) di dunia: "Tak akan kamu dapati perubahan dalam Sunnah Allah" (35:43).
Segala sesuatu dalam alam, manusia dan sejarah mempunyai kwantitas yang tertentu dan kadar yang pasti. Bukti yang paling penting untuk eksistensi Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur'an, menunjukkan eksistensi tatanan rasional dan intelegensia dalam alam.
Pada segi ini dapat kita lihat bagaimana Marx, seperti pelajar abad pertengahan yang tegar atau seorang pemeras politik, mengambil pandangan ajaran pemikiran lawan yang sangat tidak dikuasainya, paling kasar dan menyimpang sebagai bulan-butanan untuk diserang dan dihina.
Satu-satunya analisis langsung yang dikeluarkan oleh Marx yang berhubungan dengan asal agama adalah pernyataannya yang terkenal: "Manusia adalah pencipta agama, bukan agama pencipta manusia ". Di sinipun ia hanya mengulang pemyataan Ludwig


Feuerbach ( 1804-1872); ia berusaha mendapatkan penghargaan dengan cara mengganti kata "Tuhan" dengan kata "agama" dan menjadikannya tak bermakna atau sekurang-kurangnya kabur artinya. (Apa maksudnya: "Agama bukanlah pencipta manusia?" Pernahkah seorangmengatakan: "Agama adalah pencipta manusia?")
Kemudian Marx mengatakan: "Agama memberikan sesuatu bentuk kesadaran diri untuk mereka yang belum mencapai penguasaan diri, atau mereka yang telah kehilangan dirinya lagi. Meskipun demikian, agama adalah realisasi suprarasional dari nasib manusia, sebab nasib manusia tidak mempunyai eksistensi nyata. Konsekwensinya, memerangi agama berarti memerangi suatu dunia yang di dalamnya adalah esensi spiritual. Musibah agama mengungkapkan penderitaan sebenarnya, sekaligus memberikan suatu protes terhadapnya. Agama adalah keluh-kesah dari wujud yang tiada berdaya, hati dari dunia yang tak berhati, semangat dari makhluq yang tak bersemangat. Ia (agama) adalah candu bagi masyarakat. Mengecam agama tak lain berarti mengecam lautan air mata, yang di atasnya agama menjadi lingkaran sinar".
Di manakah, dalam semua ini, pemikiran yang lebih menyerupai ke dalam filsafat daripada sekadar tehnik kesusasteraan? Apabila perspektif yang pada dasarnya milik Feuerbach dikesampingkan; apakah yang tinggal dari Marx kecuali gaya bahasa?
Apabila ia mengambil nada yang serius dan rasional, ia semata-mata mengulang thema Feuerbach yang memerangi pengaruh pengasingan dari agama dengan cara yang tak jelas: "Mengecam agama dapat membebaskan manusia dari kesalahan, sehingga ia dapat berpikir, bertindak dan menciptakan realitasnya sendiri sebagai seorang melihat melalui kesalahannya sendiri, menguasai inteleknya sendiri ., sehingga dapat berputar di sekeliling dirinya, yaitu di sekeliling mataharinya yang sebenamya".
Apakah ini bukan "humanisme atheis" yang itu-itu juga, yaitu dasar dari pendapat Feuerbach? Agama adalah… suatu wujud suprarasional dari nasib (takdir) manusia. Aga artinya ini?4
Memang, pengaruh Ludwig Feuerbach adalah merupakan hal yang paling penting dan menentukan yang dipergunakan oleh Marx dalam mengeritik agama. Kita yang hidup lebih dari satu abad setelah revolusi para pengikut Hegel mendapati kepercayaan manusia semacam itu, yang menganggap telah membebaskan manusia dari "tirani Tuhan", adalah sangat naif. Untuk memahami hal tersebut, kita harus mencoba untuk merekonstruksi suasana intelektual di Prusia setelah Perang Napoleon. Kaum intelektual tidak mampu menyokong obskurantisme dari gerakan kontra revolusi sehingga mereka secara melampaui batas memuja Revolusi Perancis sebagai suatu hal dan lambang kemerdekaan dan pencerahan. Karena para tiran mengaku bahwa mereka mempunyai "hak kudus", adalah perlu untuk memerangi paham tentang kekudusan tersebut agar dapat membebaskan manusia dari tirani.
Lebih dari para pendahulunya, Feuerbach berusaha merumuskan suatu filsafat yang benar-benar manusiawi (dalam anggapannya). Menurut Feuerbach, manusia adalah satu-satunya obyek yang berharga bagi filsafat. Oleh karena itu, dalam memahami segala sesuatu, termasuk agama, kita harus bertitik tolak pada manusia. Agama tidak dapat mempunyai realitas di luar kesadaran pribadi manusia, dan satu-satunya obyek dari agama adalah manusia sendiri.
Feuerbach adalah orang pertama yang berbicara tentang "pengasingan religius", suatu ungkapan yang telah menjadi sangat terkenal karena propaganda Marxis. Ia berpendapat


bahwa manusia bukanlah semata-mata makhluq individual, melainkan pada saat yang sama juga makhluq generik. Tegasnya, di dalam diri seseorang terdapat gambaran dari seluruh umat manusia. Tetapi dalam hal ini manusia merupakan kemanusiaan hanya secara virtual, karena dia mengasingkan sebagian besar dari dirinya atas nama suatu Tuhan yang imaginer. Oleh karena itu agama merupaka keseluruhan hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, dan dengan keberadaannya yang secara generik adalah terasing. Sampai saat ini, manusia masih belum berhasil mengumpulkan keseluruhan hubungan tersebut, tetapi dia mempunyai pengertian tentang semacam hubungan-hubungan itu yang dia proyeksikan dalam suatu realitas khayali yang disebut Tuhan. Menurut Feuerbach dan para pengikutnya, tugas filsafat mencakup pengajaran kepada manusia untuk memperoleh kembali bagian terbesar dari diri mereka yang telah diasingkan oleh agama. Manusia harus segera menyadari dirinya sendiri.
Dalam "The Essence of Christianity", Feuerbach menulis: "Tugas kita adalah untuk membuktikan bahwa perbedaan antara hal yang manusiawi dan yang kudus adalah bersifat khayali, bahwa perbedaan tersebut tak lebih hanyalah merupakan perbedaan antara hakikat kemanusiaan, yakni sifat manusiawi, dan manusia itu sendiri. Jadi, obyek dan doktrin agama Kristen tak lain dan tak bukan adalah manusia". Bagi Feuerbach, seperti juga bagi Bauer, Tuhan orang Kristen mewakili "bentuk yang paling tinggi dari gambaran fantasi yang oleh manusia dijadikan dengan unsur-unsur keberadaannya sendiri. Tuhan adalah hasil suatu proses abstraksi panjang, contoh yang paling sempurna dari bermacam-macam dewa, yang dimiliki oleh berbagai suku bangsa dan peradaban".
Bagi sebagian di antara kita yang tidak lagi berpikir berdasarkan kategori-kaiegori idealisme Hegel, hal yang paling mengherankan adalah bahwa manusia dapat percaya dengan sungguh-sungguh bahwa dia diciptakan oleh suatu Tuhan yang diciptakannya sendiri. Kalau betul teori Feuerbach ini benar, hal itu pasti telah lama lenyap.
Feuerbach akhirnya menyimpulkan: "Bila kekudusan alam merupakan dasar dari semua agama; termasuk agama Kristen, maka kekudusan manusia harus rnerupakan tujuan akhir… Titik tolak yang penting dalam sejarah ialah bila manusia telah menjadi sadar, bahwa satu-satunya Tuhan bagi manusia adalah dirinya sendiri: Homo Homini Deus!"
Seperti yang telah kita catat, Karl Marx adalah orang yang sejak awal mulanya atheis. Dia jauh lebih condong kepada motif-motif psikologis dan emosional. Tetapi pada zamannya, Marx memerlukan suatu pengesahan yang rasional terhadap sikap emosionalnya. Dia menemukan pengesahan rasional tersebut pada anthropolog Ludwig Feuerbach dan menganutnya dengan sepenuh hati.5
Feuerbach dan Marx secara naif mencoba untuk menerangkan dan sekaligus menghina agama dengan pisau rasio semata. Mereka menduga bahwa untuk memahami dan mengerti tentang agama adalah sama dengan cara yang dipergunakan urnuk memahami filsafat atau ilmu pengetahuan. Mereka tidak mengerti bahwa agama bukanlah masalah partial; agama bukanlah masalah rasio semata; atau masalah intuisi saja; dan bukan pula masalah hanya aktivitas manusia. Agama adalah satu manifestasi dari totalitas manusia.
Dalam hubungan ini Iqbal telah memberikan jawaban yang jelas tentang masalah agama ini; ia menyatakan antara lain: "Akan tetapi menyesuaikan agama dengan akal bukanlah berarti menerima kelebihan filsafat atas agama. Tidak sak lagi bahwa filsafat memang mempunyai hak untuk mempersoalkan agama, tetapi apa yang akan dipertimbangkan


nanti adalah sedemikian rupa sifatnya sehingga ia tidak hendak menyerah kepada wewenang filsafat itu. Sambil duduk mempersoalkan agama; filsafat tidaklah sanggup menyuguhkan kepada agama suatu tempat yang rendah di antara bahan-bahan keterangannya."
Agama bukan soal sebagian-sebagian; ia bukanlah akal semata-mata, tidak pula hanya perasaan saja, ataupun tindakan semata-mata; ia adalah ekspresi dari seluruh kemanusiaan. Oleh karena itu dalam memberi penilaian kepada agama, filsafat harus mengakui kedudukan sentral dari agama dan tidaklah ada pilihan lain selain menerimanya sebagai pusat sesuatu dalam proses sinthese pantulan pikiran. Pula tidak ada sesuatu alasanpun untuk menyangka bahwa akal dan intuisi itu pada dasamya adalah berlawanan satu sama lain. Mereka terbit dari tempat yang sama dan saling isi mengisi. Yang satu berpegang pada kebenaran itu secara sepotong-sepotong, yang lain memegangnya dalam kebulatan keseluruhannya. Yang satu menetapkan pandangannya pada sementara dari kebenaran, yang lain pada aspek keabadian. Yang satu adalah nikmat dinihari dari seluruh kebenaran; yang lain bermaksud menjaraki keseluruhan dengan perlahan-lahan memerinci dan menutupi berbagai-bagai dari keseluruhan itu guna peninjauan tersebut. Kedua-duanya mencari penglihatan-penglihatan dari kebenaran yang itu-itu juga, yang menampakkan dirinya pada mereka sesuai dengan fungsi mereka dalam kehidupan. Pada hakekatnya, intuisi itu, sebagaimana kata Bergson secara tepat, adalah hanya semacam akal yang lebih tinggi saja.6
Pandangan yang naif dan emosional terhadap agama, mengakibatkan kaum komunis bersikap sangat benci dan garang terhadap agama. Lenin mengangap Marx terlalu memberi hati kepada agama dengan berbicara bahwa agama merupakan candu bagi masyarakat. Lenin melihat agama lebih mempunyai sifat seperti vodka yang buruk. Pada tahun 1905 Lenin rnenulis: "Agama adalah semacam vodka spiritual yang buruk, yang di dalamnya budak-budak kapitalisme membenamkan sifat manusia dan rasa sakit hati mereka yang timbul dari suatu kehidupan yang sangat tidak berharga". Bagi Stalin, yang pemah menjadi seorang siswa Seminari dari Tiflis, unsur-unsur emosional pribadi dari agama memainkan peranan yang lebih eksplisit dibanding bagi Lenin. Meskipun demikian, tak seorang pun dari pemimpin Soviet dapat membayangkan adanya kemungkinan agama tetap hidup di negara komunis tersebut.7
Sebab sikap bermusuhan terhadap agama sedemikian garangnya, sehingga sejak tahun 1961, jadi lebih dari 100 tahun setelah kelahiran Marx, teks program resmi negara Soviet dan Partai Komunis menegaskan: "peperangan tanpa ampun dan terus menerus melawan kepercayaan agama dengan tujuan membangun komunisme di tengah-tengah Soviet".8
Selain dari itu, Marx telah menjadikan materialisme sebagai landasan filsafatnya, terbukti dewasa ini sangat lemah. Karena sebagaimana telah kita maklumi dalam teori fisika quantum, terbukti yang semula dikira materi berasal dari "sesuatu yang tidak diketahui" (misteri). Materi dan energi adalah manifestasi bolak-balik dari sesuatu yang tidak diketahui, demikian menurut teori quantum. Jadi materi secara hakiki merupakan misteri yang belum diketahui manusia. Dengan demikian, bagaimana mungkin materi yang masih rnisteri itu bisa dijadikan landasan filsafat yang benar? Jadi materialisme sebagai aliran filsafat yang dipergunakan oleh Marx dan kaum komunis merupakan falsafat ilusi, falsafat khayali, yang secara filosofis tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Selanjutnya, dialektika adalah merupakan methoda yang dipergunakan oleh Marx di dalam mendekati dan memahami gejala-gejala alam, adalah berasal dari filsafatHegel


(1770-1831). Dialektika mempunyai pengertian bahwa alam semesta ini bukan tumpukan yang terdiri atas segala sesuatu yang berdiri sendiri-sendin dan terpisah-pisah, tetapi merupakan satu keseluruhan yang bulat dan berhubungan satu sama lain; bahwa alam ini bukanlah sesuatu yang diam, tetapi keadaannya terus bergerak dan berkembang; bahwa dalam proses perkembangan alam semesta ini terdapat perubahan dari kwantatif ke kwalitaif dan sebaliknya; bahwa pekembangan ini disebabkan karena adanya pertentangan di dalam benda itu sendiri (kontradiksi intern). Singkatnya dialektika bercirikan 4 asas yaitu: gerak, saling berhubungan, perubahan kualitatif ke kuantitatif atau sebaliknya, dan kontradiksi intem.
Gerak diartikan sebagai perubahan pada umumnya. Gerak (motion) adalah satu tanda daripada adanya benda. Setiap dari yang terkecil hingga yang terbesar, dari setitik atom sampai sebuah matahari selalu bergerak, artinya selalu berubah, berkembang dan lenyap. Kadang-kadang gerak membentuk satu keseimbangan, sehingga menjadi diam (tidak bergerak). Demikianlah pada hakekatnya diam itu adalah satu macam gerak.. Gerak adalah absolut, sedangkan diam adalah relatif. Perkembangan ini berjalan dari yang rendah kepada yang lebih tingi, dari yang sederhana kepada yang lebih kompleks. Walaupun kadang-kadang seperti kembali ke asal; perkembangan ini sesungguhnya tidak berjalan dalam satu lingkaran, tetapi berupa spiral yang terus maju dan menaik keatas.
Perubahan atau pekembangan ini disebabkan karena alam semesta saling berhubungan satu dengan yang lain. Perubahan dalam satu bagian akan menyebabkan pula perubahan dalam bagian lainnya; perkembangan dalam satu benda akan mempengaruhi benda-benda lainnya.
Selain disebabkan adanya hubungari antara satu benda dengan benda lainnya, perubahan atau perkembangan itu disebabkan karena adanya kontradiksi intern yang selalu tejadi dalam segala hal. Dalam setiap hal selalu terdapat these dan lawannya yakni anti these. Kontradiksi antara these dan anti these melahirkan synthese. Synthese ini kemudian menjadi these baru dan anti these baru dan melahirkan synthese baru pula; dan begitu seterusnya. Dalam setiap hal selalu terdapat "pertentangan antara yang lama dan yang baru, antara yang mati dan yang lahir, antara yang sedang lenyap dan yang sedang berkembang".
Perkembangan ini terjadi karena penggantian yang lama oleh yang baru. Tak ada perkembangan yang timbul dengan sendirinya, kecuali penggantian (negasi) dari bentuknya yang lama (terdahulu). Inilah yang disebut "hukum negasi dari negasi" (the law of negatif of negation).
Perubahan kuantitatif selalu berlangsung secara kontinyu dan secara berangsur-angsur (evolusi), sedangkan perubahan kualitatif tidak kontinyu, melainkan merupakan loncatan yang terjadi sewaktu-waktu saja. Titik dimana terjadi perubahan dari sesuatu kualitas tertentu ke kualitas lainnya disebut revolusi.9
Marurut Marx, dialektika adalah teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan (theory of the union opposite). Pertentangan yang dimaksudkan oleh Marx itu tidak pernah dijelaskan. Dalam keyakinannya bahwa feodalisme merupakan tesia, kapitalisme merupakan antitesa, kemudian menjelma menjadi sosialisme sebagai sintesa. Teorinya tidak didasarkan kepada penyelidikan yang jauh, hanya teori yang bersifat spekulatif; Marx hanya bersikap abritraire.10


Kemudian historis-materialis yang merupakan dasar pembahasan penghidupan masyarakat oleh Marx, ternyata berasal dari teori evolusi Darwin. Hal ini terlihat jelas dari surat yang dikirimkan oleh Marx kepada Engels, setelah ia mempelajari buku yang ditulis Darwin, yang antara lain berbunyi: "Aku menerima pandangari ini sebagai dasar biologis untuk filsafat sejarahku".11
Padahal sebagaimana telah kita ketahui, bahwa teori Darwin mempunyai kelemahan-kelemahan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, sehingga para ahli evolusi alam berseminar selama empat hari di Chicago Amerika Serikat pada bulan Oktober 1980; menolak teori evolusi Darwin tersebut. 12
Kemudian ekonomi dijadikan dasar di dalam menganalisa dari kehidupan masyarakat oleh Marx, khususnya "Teori hak milik dan teori nilai barang", diambil dari Proudhon dan Ricardo. Menurut Proudhon (1809-1865) dalam bukunya "Que 'est ceque la Propriete" (Apakah hak milik itu?) pada tahun 1840, antara lain menulis: "harta yang tidak wajar yang diperoleh seseorang disebutnya sebagai harta milik/barang curian". Sedangkan Ricardo ( 1772-1823 ) yang menyatakan antara lain: "Dari manakah datangnya nilai itu? Nilai semua barang terletak dalam jumlah tenaga yang diperlukan untuk membuatnya".
Kedua teori ini, kemudian dipergunakan oleh Marx sebagai teori ekonominya. Marx berkata: "Jika nilai barang itu terletak dalam tenaga yang dipergunakan untuk membuatnya, mengapa nilai tersebut tidak semuanya diberikan kepada manusia yang membuatnya, yakni kaum buruh". Karenanya, menurut Marx, nilai harga yang diambil oleh para pemilik modal dalam suatu proses produksi, disebut sebagai "harta milik curian", yaitu mencuri harta milik kaum buruh.
Sebagimana kita ketahui bahwa pada asal mula, para ahli ekonomi memakai perkataan "real value'' (nilai yang sesungguhnya) disamping perkataan "harga". Real value adalah nilai yang tidak ada hubungannya dengan harga. Akan tetapi dewasa ini hampir semua ahli ekonomi berpendapat bahwa nilai dan harga adalah sama.
Menurut ahli-ahli ekonomi, sesuatu barang akan mempunyai nilai (value), jika barang itu memenuhi dua syarat, pertama, barang itu harus berfaedah (useful), yakni ada orang yang membutuhkannya. Kedua, barang itu telah memerlukan tenaga untuk membuatnya. Sebaliknya suatu barang mungkin memerlukan tenaga kerja bertahun-tahun untuk membuatnya, akan tetapi kalau tak ada orang yang memerlukannya, maka barang tersebut tak mempunyai harga.
Demikianlah pentingnya hubungan antara faedah dan nilai; namun Marx tidak memasukkan unsur faedah dalam memberikan definisi mengenai "nilai". Ia hanya berkata bahwa "nilai adalah hasil dari tenaga".
Selanjutnya, dalam teori ekonomi, untuk membuat sesuatu barang yang ada nilainya diperlukan 4 unsur; yaitu: ladang (bahan mentah), tenaga, modal (kapital) dan organisasi (management). Masing-masing dari 4 unsur tersebut mendapat bagian dari hasil ladang mendapatkan sewa; tenaga mendapatkan upah; modal mendapat keuntungan (interest) dan managemant, termasuk di dalamnya unsur ketidak-tentuan (resiko) mendapat laba (profit). Marx menolak pendapat tersebut dan mengatakan bahwa "hanya tenagalah yang berhak kepada laba".


Menurut Marx, dalam tiap-tiap benda yang dibuat manusia ada suatu hal yang dinamakan "nilai" dan ada pula yang dinamakan "nilai kelebihan" (surplus value). Yang dimaksud nilai adalah nilai jika barang itu ditukar persis sama, tetapi nilai tersebut tak dapat disamakan dengan "harga". Adapun nilai lebih (surplus value) adalah nilai yang menetapkan keuntungan pada umumnya.
Apabila kita perhatikan teori ekonomi Marx, khususnya teori tentang "nilai dan nilai kelebihan", dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sesungguhnya teori Marx tentangnilai dan nilai kelebihan itu bukanlah teori ekonomi, akan tetapi suatu alat propaganda politik untuk menunjukkan bahwa kaum kaya itu hidupnya hanya mengeksploitir tenaga kaum miskin;
2. Teori Marx tersebut hanya berdasarkan kepada anggapan bahwa tenaga manusia adalah satu-satunya sumber dari mana nilai itu muncul. Anggapan semacam ini adalah salah, sebab Marx hanya memberikan perhatiannya kepada satu faktor secara berlebihan, padahal masalahnya sangat kompleks, khususnya faktor-faktor yang menentukan masalah nilai;
3. Yang digambarkan oleh Marx tentang kaum kapitalis dari awal abad XVIII adalah orang-orang yang mempunyai kapital dan perusahaan sendiri. Akan tetapi mulai pertengahan abad XVIII tersebut, modal itu tidak dimiliki oleh pengusaha saja. Modal dikumpulkan dari bermacam-macam golongan diantaranya dari golongan buruh sendiri, sedangkan management dilakukan oleh orang-orang yang cakap tetapi mereka itu pada dasamya bekerja sebagai buruh. 13
Dari ungkapan latar belakang sejarah mengenai Komunisme-Atheisme dapat disimpulkan bahwa Komunisme-Atheisme adalah himpunan dari berbagai teori/konsepsi filsafat, yaitu:
1. Atheisme dan materialisme milik Feuerbach
2. Dialektika adalah milik Hegel
3. Evolusi Sejarah adalah milik Darwin
4. Teori harta milik adalah milik Proudhon
5. Teori nilai dan nilai lebih adalah milik Ricardo.
Sehubungan dengan ini Raymond Aron menyimpulkan bahwa Marxisme tidak lain adalah himpunan yang dibuat secara cerdik dari segala sesuatu yang telah dikatakan oleh non Marxist. 14
Jadi, apabila atheisme dan materialisme (Feuerbach), dialektika (Hegel), evolusi (Darwin), harta milik (Proudhon), theori nilai (Ricardo), dicopot dari Komunisme-Atheisme, tidak ada yang tinggal kecuali kerangka-kerangka yang kosong.
Lalu teori-teori Komunisme-Atheisme tidak ditulis sendirian oleh Marx, tetapi ditulis bersama-sama dengan Engels; dan buku pertamanya berjudul "Manifesto Komunis" terbit pada tahtu 1848. Kemudian menyusul buku "Das Kapital I", yang terbit pada tahun 1867; sedangkan Das Kapital jilid II dan IIl diterbitkan oteh Engels sesudah Marx meninggal.
Untuk merealisasikan idea-ideanya, Marx telah mendirikan organisasi Komunis Internasional yang disingkat Intenational I pada tahun 1864 sampai 1876. Tetapi


organisasi ini tidak bisa bertahan lama, karena perpecahan diantara anggota-anggotanya, khususnya antara Marx dengan Mickail Bakunin dari Rusia. Internasional II didirikan pada tahun 1889. Setelah 6 tahun Marx meninggal. Internasional II ini didominir oleh tokoh-tokoh komunis Jerman, seperti Eduard Bernstein yang dianggap sebagai tokoh revisionis. Pola yang akan ditempuh oleh Internasional II secara evolusioner ternyata ditentang oleh Lenin; sebab menurut Lenin cara evolusioner adalah menyalahi doktrin komunis, cara satu-satunya adalah revolusioner, karena hal itu merupakan syarat mutlak untuk menciptakan masyarakat komunis. Pada Perang Dunia II pertentangan di dalam Internasional II ini tambah sengit, sehingga Internasional UU lumpuh. 15
Gambaran latar belakang sejarah Komunisme-Atheisme dan memberikan kenyataan bahwa teori-teori komunisme-atheisme yang disusun oleh Marx dan Engels, diambil dari bermacam teori orang lain yang sedikit sekali dikuasainya, sehingga penyusunannya dalam satu kerangka komunisme-atheisme menjadi sangat absurd. Oleh karena itu, berdasarkan kenyataan ini, maka kita lebih cenderung untuk berkesimpulan bahwa komunisme-atheisme bukan lahir karena pemikiran yang murni dari filsafat Marx dan Engels, tetapi karena ada pesanan dari sekelompok, orang /organisasi, dan dalam hal ini adalah Freemasonry.



DAFTAR CATATAN KAKI
1Ignace Lepp, Atheisme Dewasa Ini (terjemahan), Shalahuddin Pres, Yogyakarta, 1985, hal. 63-64.
2Ibid., hal. 65-66.
3Ali Syari'ati, Kritik Islam atas Marxisme (terjemahan), Mizan, Bandung, 1983, hal. 112-113.
4Ibid., hal. 114-117.
5Ignace Lepp, op.cit., hal. 67-70.
6Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam (terjemahan), Bulan Bintang, Jakarta, 1966, hal. 203.
7Ignace Lepp, op.cit., hal. 78.
8Ali Syari'ati, Kritik Islam atas Marxisme, op.cit., hal. 126.
9Achmad Rustandi dkk., Islam, Marxisme, Liberalisme, Nasionalisme, Uninus, Bandung, 1970, hal. 39-42.
10M. Rasyidi, Islam Menentang Komunisme, SCI, Jakarta, 1965, hal. 15
11Ali Syari'ati, Kritik Islam atas Marxisme, op.cit., hal. 82.
12Majalah TEMPO, Jakarta, 27 Desember 1980, hal. 23.
13M. Rasyidi, Islam Menentang Komunisme, op.cit., hal. 18-21.
14Ali Syari'ati, Kritik Islam atas Marxisme, op.cit., hal. 93.
15Achmad Rustandi dkk., op.cit., 64-65. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar